Kamis, Februari 21, 2013

Al-Yadul Ulaa,...Khoirun Min Yadissuflaa,... (Tangan Diatas Lebih Mulia Daripada Tangan Dibawah)


Bersedekah,....... !!! sebuah kalimat sederhana namun sangat sulit mengimplementasikannya. Yup, bersedekah tidaklah semudah kelihatannya. Harus ada unsur ikhlas di dalamnya,... menafikan sifat riya (ingin dipuji) dan ujub (membanggakan diri). 

Lalu, apa yang kita dapat dari bersedekah ? Tentunya sangat banyak sekali. Sedekah melatih jiwa kita untuk peduli terhadap sesama, menafikan pamrih. Sedekah juga menjaga kita dikala kita mengalami keterpurukan harta. 

Apakah ini benar adanya ? Atau hanya sebuah cerita-cerita yang didengungkan oleh para ustadz-ustadz saat berceramah ? Untuk hal ini, aku sendiri yang akan menjawabnya langsung dengan kalimat, "Benar,.....!!!"

Sejak kecil orang tua mengajarkanku untuk rajin bersedekah. Bukan tanpa alasan mereka mengajarkan itu. Ayahku pernah mengatakan kepadaku, "Wan,.... jangan lupakan untuk menyisihkan harta guna bersedekah kepada mereka yang membutuhkan, karena itu akan melipat gandakan harta kita dan juga menjaga kita dikala kondisi harta kita sedang mengalami keterpurukan. Selain itu, tidak ada orang yang miskin karena sering bersedekah,...."

Lama sekali aku merenungi kalimat itu serta membuktikannya di dalam pengalaman hidupku. Dari yang aku alami hingga kini, entah sudah berapa kali Allah membuktikan keajaiban manfaat bersedekah kepadaku. Aku masih ingat beberapa peristiwa dimana aku sangat membutuhkan biaya guna suatu kebutuhan. Dikala aku tengah butuh biaya besar dan aku merasa harapanku untuk mendapatkan uang sangat kecil (secara logika), alhamdulillah, Allah memberikan jalan keluar dari kesulitan itu. Subhanallah,.... Maha Suci engkah Ya Allah yang telah memudahkan segala yang sukar bagiku. 

Namun, ada hal terberat dari bersedekah ini, yaitu menjaga hati agar tetap ikhlas terhadap apa yang kita keluarkan. Inilah hal terberat dari esensi bersedekah. Kemudian, sangatlah sukar bersedekah dikala kondisi kita tidak punya ketimbang berharta. Itu telah aku buktikan sendiri. Oleh karenanya sangatlah berbeda nilai sedekah antara orang yang miskin dengan orang yang berharta. Silahkan imajinasikan, orang miskin yang hanya memiliki uang 10 ribu rupiah dan menyedekahkan 5 ribu rupiah uangnya dengan orang kaya yang hartanya berlimpah dan menyedekahkan 20 juta rupiah uangnya.  

Ya Allah,...
Semoga Kau berikan kekuatan hatiku untuk selalu bisa menjaga hatiku,...
Semoga Kau jaga kami dari kefakiran, karena kami takut fakir akan membawa kami ke menjadi kufur,...

Ya Muqollibal Qulub,... (Wahai Sang Pembolak balik hati)
Tsabbit Qolbii 'ala diinika,... (Tetapkan hatiku pada agamamu)

Ya Muyassiro kulli asiir,... (Wahai Yang memudahkan segala yang sukar)
Fataisirul asiir 'alaika yasiir,...(Mudahkan segala yang sukar karena bagiMu itu sangat mudah)




Selasa, Februari 19, 2013

Kisah Inspiratif - Seseorang baru akan berarti dikala telah tiada disisi


Sebuah kisah yang sangat inspiratif yang bisa di share, sangat layak untuk dibaca :


BAGIAN 1


Aku membencinya, itulah yang selalu kubisikkan dalam hatiku hampir sepanjang kebersamaan kami. Meskipun menikahinya, aku tak pernah benar-benar menyerahkan hatiku padanya. Menikah karena paksaan orangtua, membuatku membenci suamiku sendiri.

Walaupun menikah terpaksa, aku tak pernah menunjukkan sikap benciku. Meskipun membencinya, setiap hari aku melayaninya sebagaimana tugas istri. Aku terpaksa melakukan semuanya karena aku tak punya pegangan lain. Beberapa kali muncul keinginan meninggalkannya tapi aku tak punya kemampuan finansial dan dukungan siapapun. Kedua orangtuaku sangat menyayangi suamiku karena menurut mereka, suamiku adalah sosok suami sempurna untuk putri satu-satunya mereka.

Ketika menikah, aku menjadi istri yang teramat manja. Kulakukan segala hal sesuka hatiku. Suamiku juga memanjakanku sedemikian rupa. Aku tak pernah benar-benar menjalani tugasku sebagai seorang istri. Aku selalu bergantung padanya karena aku menganggap hal itu sudah seharusnya setelah apa yang ia lakukan padaku. Aku telah menyerahkan hidupku padanya sehingga tugasnyalah membuatku bahagia dengan menuruti semua keinginanku.

Di rumah kami, akulah ratunya. Tak ada seorangpun yang berani melawan. Jika ada sedikit saja masalah, aku selalu menyalahkan suamiku. Aku tak suka handuknya yang basah yang diletakkan di tempat tidur, aku sebal melihat ia meletakkan sendok sisa mengaduk susu di atas meja dan meninggalkan bekas lengket, aku benci ketika ia memakai komputerku meskipun hanya untuk menyelesaikan pekerjaannya. Aku marah kalau ia menggantung bajunya di kapstock bajuku, aku juga marah kalau ia memakai pasta gigi tanpa memencetnya dengan rapi, aku marah kalau ia menghubungiku hingga berkali-kali ketika aku sedang bersenang-senang dengan teman-temanku.

Tadinya aku memilih untuk tidak punya anak. Meskipun tidak bekerja, tapi aku tak mau mengurus anak. Awalnya dia mendukung dan akupun ber-KB dengan pil. Tapi rupanya ia menyembunyikan keinginannya begitu dalam sampai suatu hari aku lupa minum pil KB dan meskipun ia tahu ia membiarkannya. Akupun hamil dan baru menyadarinya setelah lebih dari empat bulan, dokterpun menolak menggugurkannya.

Itulah kemarahanku terbesar padanya. Kemarahan semakin bertambah ketika aku mengandung sepasang anak kembar dan harus mengalami kelahiran yang sulit. Aku memaksanya melakukan tindakan vasektomi agar aku tidak hamil lagi. Dengan patuh ia melakukan semua keinginanku karena aku mengancam akan meninggalkannya bersama kedua anak kami.

Waktu berlalu hingga anak-anak tak terasa berulang tahun yang ke-delapan. Seperti pagi-pagi sebelumnya, aku bangun paling akhir. Suami dan anak-anak sudah menungguku di meja makan. Seperti biasa, dialah yang menyediakan sarapan pagi dan mengantar anak-anak ke sekolah. Hari itu, ia mengingatkan kalau hari itu ada peringatan ulang tahun ibuku. Aku hanya menjawab dengan anggukan tanpa mempedulikan kata-katanya yang mengingatkan peristiwa tahun sebelumnya, saat itu aku memilih ke mal dan tidak hadir di acara ibu. Yaah, karena merasa terjebak dengan perkawinanku, aku juga membenci kedua orangtuaku.

Sebelum ke kantor, biasanya suamiku mencium pipiku saja dan diikuti anak-anak. Tetapi hari itu, ia juga memelukku sehingga anak-anak menggoda ayahnya dengan ribut. Aku berusaha mengelak dan melepaskan pelukannya. Meskipun akhirnya ikut tersenyum bersama anak-anak. Ia kembali mencium hingga beberapa kali di depan pintu, seakan-akan berat untuk pergi.

Ketika mereka pergi, akupun memutuskan untuk ke salon. Menghabiskan waktu ke salon adalah hobiku. Aku tiba di salon langgananku beberapa jam kemudian. Di salon aku bertemu salah satu temanku sekaligus orang yang tidak kusukai. Kami mengobrol dengan asyik termasuk saling memamerkan kegiatan kami. Tiba waktunya aku harus membayar tagihan salon, namun betapa terkejutnya aku ketika menyadari bahwa dompetku tertinggal di rumah. Meskipun merogoh tasku hingga bagian terdalam aku tak menemukannya di dalam tas. Sambil berusaha mengingat-ingat apa yang terjadi hingga dompetku tak bisa kutemukan aku menelepon suamiku dan bertanya.

“Maaf sayang, kemarin Farhan meminta uang jajan dan aku tak punya uang kecil maka kuambil dari dompetmu. Aku lupa menaruhnya kembali ke tasmu, kalau tidak salah aku letakkan di atas meja kerjaku.” Katanya menjelaskan dengan lembut.

Dengan marah, aku mengomelinya dengan kasar. Kututup telepon tanpa menunggunya selesai bicara. Tak lama kemudian, handphoneku kembali berbunyi dan meski masih kesal, akupun mengangkatnya dengan setengah membentak. “Apalagi??”

“Sayang, aku pulang sekarang, aku akan ambil dompet dan mengantarnya padamu. Sayang sekarang ada dimana?” tanya suamiku cepat , kuatir aku menutup telepon kembali. Aku menyebut nama salonku dan tanpa menunggu jawabannya lagi, aku kembali menutup telepon. Aku berbicara dengan kasir dan mengatakan bahwa suamiku akan datang membayarkan tagihanku. Si empunya Salon yang sahabatku sebenarnya sudah membolehkanku pergi dan mengatakan aku bisa membayarnya nanti kalau aku kembali lagi. Tapi rasa malu karena “musuh”ku juga ikut mendengarku ketinggalan dompet membuatku gengsi untuk berhutang dulu.

Hujan turun ketika aku melihat keluar dan berharap mobil suamiku segera sampai. Menit berlalu menjadi jam, aku semakin tidak sabar sehingga mulai menghubungi handphone suamiku. Tak ada jawaban meskipun sudah berkali-kali kutelepon. Padahal biasanya hanya dua kali berdering teleponku sudah diangkatnya. Aku mulai merasa tidak enak dan marah.

Teleponku diangkat setelah beberapa kali mencoba. Ketika suara bentakanku belum lagi keluar, terdengar suara asing menjawab telepon suamiku. Aku terdiam beberapa saat sebelum suara lelaki asing itu memperkenalkan diri, “selamat siang, ibu. Apakah ibu istri dari bapak armandi?” kujawab pertanyaan itu segera. Lelaki asing itu ternyata seorang polisi, ia memberitahu bahwa suamiku mengalami kecelakaan dan saat ini ia sedang dibawa ke rumah sakit kepolisian. Saat itu aku hanya terdiam dan hanya menjawab terima kasih. Ketika telepon ditutup, aku berjongkok dengan bingung. Tanganku menggenggam erat handphone yang kupegang dan beberapa pegawai salon mendekatiku dengan sigap bertanya ada apa hingga wajahku menjadi pucat seputih kertas.


BAGIAN 2


Entah bagaimana akhirnya aku sampai di rumah sakit. Entah bagaimana juga tahu-tahu seluruh keluarga hadir di sana menyusulku. Aku yang hanya diam seribu bahasa menunggu suamiku di depan ruang gawat darurat. Aku tak tahu harus melakukan apa karena selama ini dialah yang melakukan segalanya untukku. Ketika akhirnya setelah menunggu beberapa jam, tepat ketika kumandang adzan maghrib terdengar seorang dokter keluar dan menyampaikan berita itu. Suamiku telah tiada. Ia pergi bukan karena kecelakaan itu sendiri, serangan stroke-lah yang menyebabkan kematiannya. Selesai mendengar kenyataan itu, aku malah sibuk menguatkan kedua orangtuaku dan orangtuanya yang shock. Sama sekali tak ada airmata setetespun keluar di kedua mataku. Aku sibuk menenangkan ayah ibu dan mertuaku. Anak-anak yang terpukul memelukku dengan erat tetapi kesedihan mereka sama sekali tak mampu membuatku menangis.

Ketika jenazah dibawa ke rumah dan aku duduk di hadapannya, aku termangu menatap wajah itu. Kusadari baru kali inilah aku benar-benar menatap wajahnya yang tampak tertidur pulas. Kudekati wajahnya dan kupandangi dengan seksama. Saat itulah dadaku menjadi sesak teringat apa yang telah ia berikan padaku selama sepuluh tahun kebersamaan kami. Kusentuh perlahan wajahnya yang telah dingin dan kusadari inilah kali pertama kali aku menyentuh wajahnya yang dulu selalu dihiasi senyum hangat. Airmata merebak dimataku, mengaburkan pandanganku. Aku terkesiap berusaha mengusap agar airmata tak menghalangi tatapan terakhirku padanya, aku ingin mengingat semua bagian wajahnya agar kenangan manis tentang suamiku tak berakhir begitu saja. Tapi bukannya berhenti, airmataku semakin deras membanjiri kedua pipiku. Peringatan dari imam mesjid yang mengatur prosesi pemakaman tidak mampu membuatku berhenti menangis. Aku berusaha menahannya, tapi dadaku sesak mengingat apa yang telah kuperbuat padanya terakhir kali kami berbicara.

Aku teringat betapa aku tak pernah memperhatikan kesehatannya. Aku hampir tak pernah mengatur makannya. Padahal ia selalu mengatur apa yang kumakan. Ia memperhatikan vitamin dan obat yang harus kukonsumsi terutama ketika mengandung dan setelah melahirkan. Ia tak pernah absen mengingatkanku makan teratur, bahkan terkadang menyuapiku kalau aku sedang malas makan. Aku tak pernah tahu apa yang ia makan karena aku tak pernah bertanya. Bahkan aku tak tahu apa yang ia sukai dan tidak disukai. Hampir seluruh keluarga tahu bahwa suamiku adalah penggemar mie instant dan kopi kental. Dadaku sesak mendengarnya, karena aku tahu ia mungkin terpaksa makan mie instant karena aku hampir tak pernah memasak untuknya. Aku hanya memasak untuk anak-anak dan diriku sendiri. Aku tak perduli dia sudah makan atau belum ketika pulang kerja. Ia bisa makan masakanku hanya kalau bersisa. Iapun pulang larut malam setiap hari karena dari kantor cukup jauh dari rumah. Aku tak pernah mau menanggapi permintaannya untuk pindah lebih dekat ke kantornya karena tak mau jauh-jauh dari tempat tinggal teman-temanku.

Saat pemakaman, aku tak mampu menahan diri lagi. Aku pingsan ketika melihat tubuhnya hilang bersamaan onggokan tanah yang menimbun. Aku tak tahu apapun sampai terbangun di tempat tidur besarku. Aku terbangun dengan rasa sesal memenuhi rongga dadaku. Keluarga besarku membujukku dengan sia-sia karena mereka tak pernah tahu mengapa aku begitu terluka kehilangan dirinya.

Hari-hari yang kujalani setelah kepergiannya bukanlah kebebasan seperti yang selama ini kuinginkan tetapi aku malah terjebak di dalam keinginan untuk bersamanya. Di hari-hari awal kepergiannya, aku duduk termangu memandangi piring kosong. Ayah, Ibu dan ibu mertuaku membujukku makan. Tetapi yang kuingat hanyalah saat suamiku membujukku makan kalau aku sedang mengambek dulu. Ketika aku lupa membawa handuk saat mandi, aku berteriak memanggilnya seperti biasa dan ketika malah ibuku yang datang, aku berjongkok menangis di dalam kamar mandi berharap ia yang datang. Kebiasaanku yang meneleponnya setiap kali aku tidak bisa melakukan sesuatu di rumah, membuat teman kerjanya kebingungan menjawab teleponku. Setiap malam aku menunggunya di kamar tidur dan berharap esok pagi aku terbangun dengan sosoknya di sebelahku.

Dulu aku begitu kesal kalau tidur mendengar suara dengkurannya, tapi sekarang aku bahkan sering terbangun karena rindu mendengarnya kembali. Dulu aku kesal karena ia sering berantakan di kamar tidur kami, tetapi kini aku merasa kamar tidur kami terasa kosong dan hampa. Dulu aku begitu kesal jika ia melakukan pekerjaan dan meninggalkannya di laptopku tanpa me-log out, sekarang aku memandangi komputer, mengusap tuts-tutsnya berharap bekas jari-jarinya masih tertinggal di sana. Dulu aku paling tidak suka ia membuat kopi tanpa alas piring di meja, sekarang bekasnya yang tersisa di sarapan pagi terakhirnyapun tidak mau kuhapus. Remote televisi yang biasa disembunyikannya, sekarang dengan mudah kutemukan meski aku berharap bisa mengganti kehilangannya dengan kehilangan remote. Semua kebodohan itu kulakukan karena aku baru menyadari bahwa dia mencintaiku dan aku sudah terkena panah cintanya.

Aku juga marah pada diriku sendiri, aku marah karena semua kelihatan normal meskipun ia sudah tidak ada. Aku marah karena baju-bajunya masih di sana meninggalkan baunya yang membuatku rindu. Aku marah karena tak bisa menghentikan semua penyesalanku. Aku marah karena tak ada lagi yang membujukku agar tenang, tak ada lagi yang mengingatkanku sholat meskipun kini kulakukan dengan ikhlas. Aku sholat karena aku ingin meminta maaf, meminta maaf pada Allah karena menyia-nyiakan suami yang dianugerahi padaku, meminta ampun karena telah menjadi istri yang tidak baik pada suami yang begitu sempurna. Sholatlah yang mampu menghapus dukaku sedikit demi sedikit. Cinta Allah padaku ditunjukkannya dengan begitu banyak perhatian dari keluarga untukku dan anak-anak. Teman-temanku yang selama ini kubela-belain, hampir tak pernah menunjukkan batang hidung mereka setelah kepergian suamiku.


BAGIAN 3


Empat puluh hari setelah kematiannya, keluarga mengingatkanku untuk bangkit dari keterpurukan. Ada dua anak yang menungguku dan harus kuhidupi. Kembali rasa bingung merasukiku. Selama ini aku tahu beres dan tak pernah bekerja. Semua dilakukan suamiku. Berapa besar pendapatannya selama ini aku tak pernah peduli, yang kupedulikan hanya jumlah rupiah yang ia transfer ke rekeningku untuk kupakai untuk keperluan pribadi dan setiap bulan uang itu hampir tak pernah bersisa. Dari kantor tempatnya bekerja, aku memperoleh gaji terakhir beserta kompensasi bonusnya. Ketika melihatnya aku terdiam tak menyangka, ternyata seluruh gajinya ditransfer ke rekeningku selama ini. Padahal aku tak pernah sedikitpun menggunakan untuk keperluan rumah tangga. Entah darimana ia memperoleh uang lain untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga karena aku tak pernah bertanya sekalipun soal itu.Yang aku tahu sekarang aku harus bekerja atau anak-anakku takkan bisa hidup karena jumlah gaji terakhir dan kompensasi bonusnya takkan cukup untuk menghidupi kami bertiga. Tapi bekerja di mana? Aku hampir tak pernah punya pengalaman sama sekali. Semuanya selalu diatur oleh dia.

Kebingunganku terjawab beberapa waktu kemudian. Ayahku datang bersama seorang notaris. Ia membawa banyak sekali dokumen. Lalu notaris memberikan sebuah surat. Surat pernyataan suami bahwa ia mewariskan seluruh kekayaannya padaku dan anak-anak, ia menyertai ibunya dalam surat tersebut tapi yang membuatku tak mampu berkata apapun adalah isi suratnya untukku.

Istriku Liliana tersayang,

Maaf karena harus meninggalkanmu terlebih dahulu, sayang. maaf karena harus membuatmu bertanggung jawab mengurus segalanya sendiri. Maaf karena aku tak bisa memberimu cinta dan kasih sayang lagi. Allah memberiku waktu yang terlalu singkat karena mencintaimu dan anak-anak adalah hal terbaik yang pernah kulakukan untukmu.

Seandainya aku bisa, aku ingin mendampingi sayang selamanya. Tetapi aku tak mau kalian kehilangan kasih sayangku begitu saja. Selama ini aku telah menabung sedikit demi sedikit untuk kehidupan kalian nanti. Aku tak ingin sayang susah setelah aku pergi. Tak banyak yang bisa kuberikan tetapi aku berharap sayang bisa memanfaatkannya untuk membesarkan dan mendidik anak-anak. Lakukan yang terbaik untuk mereka, ya sayang.

Jangan menangis, sayangku yang manja. Lakukan banyak hal untuk membuat hidupmu yang terbuang percuma selama ini. Aku memberi kebebasan padamu untuk mewujudkan mimpi-mimpi yang tak sempat kau lakukan selama ini. Maafkan kalau aku menyusahkanmu dan semoga Tuhan memberimu jodoh yang lebih baik dariku.

Teruntuk Farah, putri tercintaku. Maafkan karena ayah tak bisa mendampingimu. Jadilah istri yang baik seperti Ibu dan Farhan, ksatria pelindungku. Jagalah Ibu dan Farah. Jangan jadi anak yang bandel lagi dan selalu ingat dimanapun kalian berada, ayah akan disana melihatnya. Oke,.... Buddy!

Aku terisak membaca surat itu, ada gambar kartun dengan kacamata yang diberi lidah menjulur khas suamiku kalau ia mengirimkan note.

Notaris memberitahu bahwa selama ini suamiku memiliki beberapa asuransi dan tabungan deposito dari hasil warisan ayah kandungnya. Suamiku membuat beberapa usaha dari hasil deposito tabungan tersebut dan usaha tersebut cukup berhasil meskipun dimanajerin oleh orang-orang kepercayaannya. Aku hanya bisa menangis terharu mengetahui betapa besar cintanya pada kami, sehingga ketika ajal menjemputnya ia tetap membanjiri kami dengan cinta.

Aku tak pernah berpikir untuk menikah lagi. Banyaknya lelaki yang hadir tak mampu menghapus sosoknya yang masih begitu hidup di dalam hatiku. Hari demi hari hanya kuabdikan untuk anak-anakku. Ketika orangtuaku dan mertuaku pergi satu persatu meninggalkanku selaman-lamanya, tak satupun meninggalkan kesedihan sedalam kesedihanku saat suamiku pergi.

Kini kedua putra putriku berusia duapuluh tiga tahun. Dua hari lagi putriku menikahi seorang pemuda dari tanah seberang. Putri kami bertanya, “Ibu, aku harus bagaimana nanti setelah menjadi istri, soalnya Farah kan ga bisa masak, ga bisa nyuci, gimana ya bu?”

Aku merangkulnya sambil berkata “Cinta sayang, cintailah suamimu, cintailah pilihan hatimu, cintailah apa yang ia miliki dan kau akan mendapatkan segalanya. Karena cinta, kau akan belajar menyenangkan hatinya, akan belajar menerima kekurangannya, akan belajar bahwa sebesar apapun persoalan, kalian akan menyelesaikannya atas nama cinta.”

Putriku menatapku, “seperti cinta ibu untuk ayah? Cinta itukah yang membuat ibu tetap setia pada ayah sampai sekarang?”

Aku menggeleng, “bukan, sayangku. Cintailah suamimu seperti ayah mencintai ibu dulu, seperti ayah mencintai kalian berdua. Ibu setia pada ayah karena cinta ayah yang begitu besar pada ibu dan kalian berdua.”

Aku mungkin tak beruntung karena tak sempat menunjukkan cintaku pada suamiku. Aku menghabiskan sepuluh tahun untuk membencinya, tetapi menghabiskan hampir sepanjang sisa hidupku untuk mencintainya. Aku bebas darinya karena kematian, tapi aku tak pernah bisa bebas dari cintanya yang begitu tulus.

Jumat, Januari 25, 2013

Membuat Silsilah Keluarga

Hal utama yang sering dialami oleh kita semua adalah pemahaman akan silsilah keluarga. Banyak diantara kita yang terkadang bingung saat harus mendokumentasikan silsilah keluarga dikarenakan pembuatannya yang memakan extra tenaga juga disebabkan pula oleh keterbatasan software yang mengakomodasinya yang dirasa cukup user friendly. 

Berangkat dari hal itu, aku mencoba satu persatu software silsilah keluarga yang banyak bertebaran di internet dari yang freeware sampai yang berbayar. Untuk kali ini, aku akan mencoba share sebuah fasilitas pembuatan silsilah keluarga yang disediakan secara on-line. keuntungannya menggunakan fasilitas ini adalah, kita bisa mengaksesnya disaat dibutuhkan selama ada koneksi internet. 

Situs yang menyediakan software ini adalah www.geni.com. Tampilannya saat pertama kali dibuka adalah seperti ini :

 
Bagi kalian yang belum memiliki account bisa mendaftar disana secara free (lihat marker kotak) dan bagi kalian yang telah memiliki account bisa langsung log in (lihat marker lingkaran)

Berikut adalah tampilan halaman ketika kita telah log in :


Kita bisa langsung melihat silsilah (family tree) dengan mengklik "tree" pada baris atas (lihat marker lingkaran). 
Setelah masuk ke menu "tree" berikut adalah tampilannya :


Kita bisa menambahkan nama saudara atau anak dengan mengklik panah samping atau bawah. Untuk pilihan  penambahan informasi saat mengklik panah bawah dapat dilihat pada gambar di atas, sementara untuk pilihan penambahan informasi saat mengklik panah samping dapat dilihat pada gambar berikut ini :


Software Geni ini akan terus bisa terangkai dengan kompleks,misalnya usai kita buat silsilah dari sisi kita, kita bisa membuat pula silsilah dari sisi istri kita, atau kakak ipar kita, atau dari sisi lainnya secara bersambungan tak berbatas. 

Katakanlah kita telah membuat silsilah dari sisi istri kita, maka secara otomatis akan ada tanda di kolom istri kita yang menunjukkan bahwa istri kita tersebut memiliki silsilah tersendiri yang dapat diakses dengan mengklik tanda tersebut. Berikut gambar tampilannya (lihat marker lingkaran):


Intinya, bagiku software ini sangat berguna saat harus melakukan update silsilah keluarga. Fasilitas akses on-line nya memudahkanku dalam mengaksesnya disaat aku harus berkunjung ke rumah kerabat/orang tua/sesepuh dan lainnya dimana aku bisa langsung menambahkannya disana. 

Demikian share kali ini, semoga bisa bermanfaat bagi semuanya. Yang terpenting adalah jangan sampai anak atau cucu kita nanti tidak mengetahui sama sekali silsilah mereka agar tidak perlu terjadi putus silaturahmi atau padam obor. 

Salam

Pengalaman Menjadi Wedding Organizer


Setelah beberapa kali terlibat di dalam Wedding Organizer, baru kali inilah mendapat kepercayaan sepenuhnya sebagai penanggung jawab penuh dalam satu acara pernikahan. Dari proses persiapan yang meliputi budget, acara, dokumentasi hingga seluruh hal-hal lainnya harus dipikirkan. Jujur saja, tanggung jawab ini teramat sangat menyita energi apalagi bagi aku yang memang di level "Pemula".

Secara konsep aku menawarkan pilihan ala betawi yang menurutku cukup simple namun tidak mengurangi faktor-faktor pendukung lainnya seperti busana, kesakralan acara akad nikah hingga proses hiburan dan pendokumentasian acara. Hal yang sangat mengkhawatirkan adalah faktor cuaca yang saat acara dilangsungkan berada di dalam bulan-bulan dengan intensitas hujan yang sangat besar. 

Untuk menyiasati hal ini, aku merefer kepada do'a kepada sang Khaliq agar dalam proses Allah bisa memperlancar urusan ini. Ya, guna pelaksanaannya aku meminta kepada Pemilik haja agar mengumpulkan anak yatim tepat di malam sebelum acara berlangsung. Diawali dengan proses do'a bersama dengan mereka yang aku pimpin sendiri dan diakhiri dengan pembagian sodaqoh kepada mereka. Aku sangat yakin bahwa dengan sodaqoh dan diamini langsung oleh anak yatim, Allah akan memudahkan segala proses acara. 

Diantara bait-bait do'a yang kubaca adalah do'a kelancaran hajat, kemudahan segala urusan dan do'a mengalihkan hujan yang diambil dari hadis. 


Singkat cerita, akhirnya acara berlangsung dan Alhamdulillah Allah memberikan kelancaran di dalam prosesnya. Berulang kali gerimis datang dan sesaat ketika gerimis datang, dengan kuasa Allah angin berhembus kencang menyapu awan mendung pergi jauh. Aku menjadi saksi mata atas kekuasaan Allah terhadap seluruh kejadian ini. 

Subhanallah,...... Maha Suci Engkau Ya Allah yang telah memudahkan segala urusan kami. 

Pengalaman ini membuatku semakin yakin bahwa apapun urusan hajat kalian, lakukan dengan sekuat tenaga dengan cara yang terbaik, lalu pasrahkan segala urusan kepada Allah untuk hasil yang terbaiknya. Karena Allah selalu Maha Tahu mana yang terbaik buat kita. 

Sebait do'a penutup :

Allahumma La Ma-ni'a lima a'toita 
(Ya Allah, tiada yang dapat mencegah terhadap segala yang telah Kau berikan)

Wala Mu'tia lima mana'ta
(dan tiada yang dapat memberikan terhadap segala yang telah Kau cegah)

Wala Roodda lima qodoita
(dan tiada yang dapat mengembalikan terhadap segala yang telah Kau limpahkan)


Untuk link slideshow proses Akad Nikahnya bisa dilihat disini :

http://www.youtube.com/watch?v=7xwWmWDh56s