Senin, Juli 28, 2008

Road to Dream

Aku beri judul ini "Road to Dream" karena terinspirasi dari film Captain Tsubasa. Sebuah film yang menceritakan bagaimana seorang tsubasa kecil berjuang keras guna meraih sesuatu yang diimpikannya.

Sejujurnya, film ini penuh dengan nilai positif. Banyak hal bisa dipelajari disini, seperti bagaimana gigihnya sosok tsubasa dalam meraih impiannya,... juga seberapa tangguhnya tsubasa dalam menghadapi tekanan yang diberikan,...

Ada hal menarik yang bisa diambil contoh yaitu betapa seorang tsubasa akan semakin kuat saat bekerja dalam kondisi penuh tekanan.

Semangat,.... keuletan,... ketekunan,... ditambah dengan kecerdasan,... merupakan kombinasi yang sangat baik dalam menghadapi hidup saat ini ditengah tingkat persaingan yang ketat. Lalu, apa kaitannya dengan tema tulisanku saat ini ?

Setiap orang punya impian,... namun sedikit yang berusaha mencoba untuk merealisasikannya. Demikian pula denganku. Aku punya banyak mimpi. Aku punya mimpi untuk bisa menatap dan berjalan dunia ini dengan "tegak",... aku punya mimpi untuk bisa merubah kehidupanku menjadi lebih baik lagi,... dan masih banyak lagi mimpiku.

Pada sebagian orang, bermimpi dianggap tabu, tapi tidak dalam kamusku. Ada banyak kesuksesan yang diawali dengan bermimpi. Yang penting adalah bagaimana kita bisa merealisasikan mimpi menjadi suatu hal yang nyata dalam kehidupan.

Bermimpi memberiku harapan untuk bisa maju dan berkembang. Bermimpi memberiku banyak cara untuk menghasilkan ide-ide baru dalam berkreasi. Bermimpi pulalah yang membuatku tetap bisa bertahan untuk selalu mencoba,... dan mencoba meski banyak pula kegagalan kuhadapi.

Dalam Al-Quran Allah berfirman :

"Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah nasib seseorang/bangsa, sampai orang/bangsa itu berusaha untuk mengubah nasibnya sendiri"

Dan aku selalu meyakini satu hal,... "Siapa yang berusaha dengan sungguh-sungguh,... niscaya dia akan berhasil,..."

Jadi,... sampai kapanpun aku akan selalu berusaha untuk mengejar impian yang aku miliki, karena aku yakin kelak suatu saat aku akan bisa mewujudkannya.

Kuncinya cuma 2,... berusaha ... dan berdoa,...

Jumat, Juli 25, 2008

Pentingnya berkomunikasi

Tema hari ini aku angkat karena memang banyak permasalahan yang terjadi disebabkan tidak adanya jalinan komunikasi yang baik.

Sebagai contoh, hari ini aku mendapat undangan meeting di klien terkait dengan penyelesaian beberapa permasalahan. Seperti biasa, seluruh bahan telah disiapkan dengan baik untuk mempermudah pencarian data seandainya dibutuhkan untuk referensi berargumantasi nantinya.

Singkatnya, meeting telah dimulai dan seluruh permasalahan sudah diungkapkan. Setelah melalui proses perdebatan pada akhirnya diketahui bahwa persentase terbanyak terjadinya permasalahan lebih disebabkan buruknya komunikasi baik internal ataupun eksternal dipihak klien.

Pengalaman ini merupakan pelajaran berharga bagi setiap orang dimana banyak kasus terjadi akibat jalinan komunikasi yang tidak lancar. Dari pengalamanku selama ini, banyak orang menyepelekan urusan korespondensi dalam pekerjaan. Kebanyakan mereka selalu suka dengan system cepat; seperti konfirmasi melalui lisan. Sejujurnya, ini hanya baik dari sisi pelaksanaan selama tidak ada permasalahan dikemudian hari, namun apabila kelak terjadi permasalahan, maka tidak ada dasar yang dapat dipegang karena hampir seluruh konfirmasi yang dibina selama ini melalui lisan.

Berbicara tentang dasar suatu pekerjaan atau pengambilan keputusan, tentunya tidak lepas dari sumber, saran atau pertimbangan yang ada sebagai bukti otentik kuat yang mendasarinya. Sayangnya kebanyakan orang tidak suka bekerja dengan urusan administrative padahal inilah satu-satunya bukti kuat sebagai pendukung disaat menghadapi permasalahan kelak.

Jadi, apabila aku boleh menyarankan, luangkan waktu untuk mendokumentasikan bentuk komunikasi dengan klien secara tertulis (administrative). Mungkin terlihat ribet atau membuang waktu, namun percayalah inilah satu-satunya bukti yang kelak bisa memperkuat posisi kita dikala berargumentasi nantinya

Junioritas dan Senioritas

Berbicara masalah ini, memang tidak mudah. Namun ini merupakan permasalahan klasik hampir disetiap tempat. Ada hal terpenting sekali yang perlu digaris bawahi bila berbicara hal ini.

Junioritas & Senioritas identik dengan kekuasaan, jabatan & kesempatan. Dari pengalaman yang aku alami selama keluar masuk perusahaan, sisi Junioritas & Senioritas selalu identik dengan masa kerja dan bukan dengan pengalaman kerja atau kemampuan seseorang dibidangnya. Hal ini sangat diperdebatkan apabila sudah berbicara masalah kesempatan untuk menempati posisi suatu jabatan.

Sungguh dilematis memang saat seseorang meraih suatu posisi penting namun acapkali diabaikan keberadaannya oleh orang-orang yang menganggap dirinya “Senior” (baca: orang lama) hanya karena dia adalah “Junior” (baca: orang baru). Tidak bisa dipungkiri, rasa iri, merasa dirinya “lebih baik” dan “mengerti” merupakan hal yang dominan ditemui.

Lalu apa yang harus dilakukan apabila hal serupa kita alami ? Well,… pertanyaan yang mudah, dengan jawaban yang mudah, namun sulit untuk dilaksanakan. Namun mungkin pengalaman yang aku alami bisa dijadikan alternatif dalam menyiasatinya.

Sebagai “Junior” (baca: orang baru), aku kerap menghadapi permasalahan ini disetiap tempat. Diindahkan saat memberikan perintah, diabaikan saat memberikan suara dan yang terburuk benar-benar di under estimate-kan oleh para “Senior” (baca; orang lama). Ada kiat-kiat yang aku lakukan untuk menghadapi situasi ini agar tidak merasa stress:

· Amati & pelajari situasi, lihat situasi lingkungan kerja. Pelajari system yang ada dan pahami dengan sebaik-baiknya. Mengamati merupakan pilihan pertamaku karena disinilah aku bisa menyelami dinamisasi ritme kerja sehingga memudahkanku dalam melakukan evaluasi kelemahan dan kelebihan system yang ada. Pengamatan juga aku lakukan secara menyeluruh hingga ke level team kerjaku, karena merekalah yang akan menjadi bagian terpenting dari team pendukungku nantinya.

· Low Profile (rendah diri), terkadang tidak ada salahnya menunjukkan sikap kita dengan rendah hati. Buang segala sifat arogansi seperti bicara sesuatu dengan sangat hebat hanya untuk menunjukkan reputasi kita. Tidak semua orang bisa menerima hal seperti itu. Sebagai pendatang baru, kita belum mengetahui karakter & kemampuan masing-masing personil di Team kita, demikian pula dengan mereka. Ingat pepatah yang mengatakan “First Impressions are most lasting”, tentunya kita berharap kesan pertama yang bisa kita tampilkan adalah sesuatu yang baik, dan kesan yang baik didapat dari approaching yang baik pula.

· Menunjukkan & mempertahankan kualitas kerja, hal pertama yang mungkin bisa dicoba adalah respons kita dalam menanggapi & menyelesaikan pekerjaan yang diberikan. Dari beberapa pengalaman, aku sering menghadapi situasi yang memaksa aku untuk bekerja ekstra keras dikarenakan tingkat pressure yang tinggi. Dari beberapa kebiasaan yang aku lihat, sedikit orang yang bisa tetap bekerja dengan baik disaat menghadapi kondisi pressure yang sangat tinggi.

· Be a Teamwork, ini merupakan kunci terpenting. Banyak orang pandai namun sedikit yang bisa bekerjasama di dalam team. Kebanyakan yang aku jumpai, semakin pintar orang, maka semakin sulit dia bisa menerima ide orang lain sebaik apapun itu. kerjasama team terlihat sangat mudah, namun sukar untuk dijalankan dengan baik terlebih bagi orang yang terbiasa bekerja secara individu.

· Selalu Berfikir Positif, seburuk apapun feedback yang aku terima, aku selalu tetap berusaha tenang dan berfikiran positif. Tidak semua ide baik & cemerlang yang aku kemukakan ditanggapi dengan baik, terkadang ada saat orang menganggap ide ku tidak berguna padahal yang sesungguhnya adalah orang tersebut tidak bisa menerima suatu kekalahan. Patah arang, frustasi atau Berfikiran negatif sebagai jalan keluar dari bentuk kekecewaan selalu aku hindari.

· Tetap bersemangat dan selalu membarikan yang terbaik, sesulit apapun permasalahan atau beban yang datang, aku selalu mengusahakan untuk tetap semangat menjalaninya. Dengan tetap semangat, aku bisa mengangkat mental team-ku dan yang terpenting adalah semangat membuat segala sesuatu yang dirasa tidak mungkin untuk diselesaikan menjadi mungkin.

Terlepas dari beberapa kiat di atas, yang paling menentukan adalah kualitas mental kita. Menempati suatu posisi penting sebagai “junior” tentunya membutuhkan mental yang kuat untuk bisa meyakinkan orang lain bahwa kita pantas duduk disana. Dalam perjalanan selalu saja ada aral yang melintang, butuh mental yang kuat untuk bisa tetap bertahan. Di atas langit selalu ada langit, dan tidak ada yang sempurna di dunia ini, yang ada hanyalah orang yang mau berusaha untuk mengejar kekurangannya.

Ada perbedaan kecil antara orang yang selalu berfikiran “Optimis” dan orang yang selalu berfikiran “Pesimis”.
Saat ada satu gelas kosong diisi dengan air sebanyak setengahnya, maka orang pesimis akan mengatakan bahwa gelas tersebut “Hanya setengah terisi”, sementara orang optimis akan mengatakan bahwa gelas tersebut “Hanya setengah kurang”.

Pertanyaannya, digolongan apakah kamu berada ?

Susahnya membuat keputusan

Mungkin seringkali dari kita yang berada di posisi “Decision Maker” mengalami kesulitan saat dihadapkan pada kasus dimana ada satu keputusan yang harus dibuat namun dengan tingkat pressure yang cukup kuat. Tidak dalam kontek pekerjaan saja, terkadang situasi ini bisa datang dalam kontek personal atau lain sebagainya.

Tulisan ini aku buat berdasarkan pengalaman personal yang aku alami. Saat itu posisiku sebagai seorang Field Senior Supervisor yang mendapatkan promosi dari perusahaan untuk menduduki posisi baru sebagai Field Assistant Operational Manager. Jujur, saat itu aku merasa tidak nyaman dengan adanya promosi tersebut dengan pertimbangan bahwa di level tersebut tentunya banyak sekali keputusan yang harus dibuat secara objective yang menyangkut kebijakan perusahaan secara menyeluruh.

Setiap keputusan yang dibuat terhadap suatu kebijakan, tentunya tidak akan bisa menyenangkan seluruh pihak karena biasanya saat keputusan dibuat tentunya ada satu pihak yang merasa diuntungkan dan disatu pihak lagi akan merasa dirugikan. Saat itu sejujurnya aku dalam posisi dilematis apakah akan menerima promosi yang diberikan, atau menolaknya dengan pertimbangan tersebut di atas.

Dalam kondisi bimbang, aku coba berkonsultasi dengan ayahku saat itu sambil menceritakan duduk persoalan yang masih mengganjal di hatiku. Waktu itu, ayahku tidak memberikan jawaban dari apa yang aku tanyakan, namun jawaban yang diberikan ayahku merupakan ilustrasi sebuah cerita seperti ini :

“Dijaman dahulu kala, saat itu masanya Sayidina Lukman, anaknya bertanya pada ayahnya,”Ayah,.. apa yang harus aku lakukan agar setiap pekerjaan aku dinilai sempurna sehingga tidak ada orang yang mengkomentarinya ?”

Sang Ayah menjawab, “anakku, kalau itu yang kamu cari, hal itu tidak akan pernah terjadi.”

Kemudian sang anak bertanya kembali, “mengapa demikian ayah?”

Sang ayah tidak menjawab pertanyaan anaknya, melainkan langsung mengajak agar anaknya turut serta, seraya mengatakan,”anakku, ikutlah dengan ayah, nanti kau akan tahu sendiri jawabannya”.

Lalu berangkatlah mereka berdua dengan membawa oleh seekor keledai. Ketika perjalan akan memasuki satu perkampungan, sang ayah meminta agar anaknya untuk menaiki keledai sementara sang ayah berjalan menuntun keledai tersebut. Ketika mereka memasuki kampung, orang kampung setempat melihat mereka dan membicarakannya. Mereka mengatakan, “Dasar anak tidak tahu diri, tidak punya sopan santun, tega sekali membiarkan ayahnya berjalan kaki sementara dia enak-enakan sendiri duduk di atas keledai itu.”

Sekeluar dari kampung pertama, sang ayah menanyakan kepada anaknya, “engkau dengar kan, bagaimana komentar orang kampung itu setelah melihat kita? padahal tujuan aku membiarkan kamu tetap naik di atas keledai adalah menunjukkan rasa sayang orang tua terhadap anaknya yang mau melakukan apa saja untuk membuat anaknya tidak merasa lelah berjalan. Tetapi sekalipun tujuanku baik, ternyata tidak semua orang melihatnya seperti itu.”

“Kalau begitu, dikampung berikut, biar aku yang naik keledai itu nak, nanti kamu jalan saja menuntunnya.” demikian sang ayah berkata kepada anaknya.

“Baik ayah, akan aku lakukan.” sang anak menjawab.

Mendekati perkampungan kedua, merekapun bertukar tempat. Sang ayah menaiki keledai tersebut, sementara sang anak menuntunnya. Merekapun memasuki perkampungan tersebut. Setibanya didalam kampung, orang kampung yang melihat mereka kembali membicarakannya. Kali ini mereka mengatakan,”dasar orang tua tidak tahu diri, enak-enakan dia duduk di atas keledai, sementara anaknya yang masih kecil itu dibiarkan berjalan kaki. Sungguh orang tua yang tidak punya otak dan nurani.” demikian komentar dari orang kampung tersebut.

Sekeluar dari kampung kedua tersebut, kembali sang ayah berbicara kepada anaknya,”kau dengar tadi ucapan mereka anakku, padahal tujuanku membiarkan aku naik diatas keledai dan engkau dibawah menuntunnya adalah untuk menunjukkan betapa hormatnya engkau terhadap orang tuamu sehingga sang anak akan rela melakukan apa saja agar orang tuanya tidak lelah dalam perjalanan. Namun ternyata tindakan terpuji seperti itu masih juga mendapat komentar yang tidak baik dari orang lain.”

“Baiklah, diperkampungan berikut, sebaiknya kita berdua akan menaiki keledai ini bersama-sama” demikian sang ayah berucap.

Ketika memasuki perkampungan ketiga, sang ayah dan anaknya menaiki keledai tersebut bersama-sama. Kemudian mereka berjalan melewati kampung tersebut. Melihat mereka, orang kampung mengatakan,”Dasar orang-orang yang tidak punya otak, mereka berdua menaiki seekor keledai tanpa memikirkan bagaimana payahnya keledai itu menahan berat mereka berdua. Sungguh sangat tidak berpendidikan dan memiliki nurani sekali.”

“Dengarkan kata mereka anakku, mereka kembali menyalahkan kita. Padahal apa yang kita lakukan saat ini adalah sebagai alternatif untuk menghindari gunjingan mereka seperti yang diucapkan pada kampung pertama dan kedua.” demikian sang ayah berkata kepada anaknya.

“benar ayah,… ternyata usaha kita masih salah juga menurut mereka” sang anak menimbali.

“Baiklah, kalau demikian, sebagai usaha terakhir, nanti kita berdua berjalan saja. Biarkan keledai itu tidak usah dinaiki” sang ayah mengkomentari.

Ketika memasuki perkampungan keempat, mereka menjalankan rencananya. Sang ayah dan anak berjalan sambil menuntun keledai tersebut. Saat memasuki perkampungan, orang kampung kembali mengomentari mereka, “Bodoh sekali ayah dan anak itu, punya keledai, tapi lebih milih jalan kaki. Sungguh ayah dan anak yang tidak berpendidikan.”

Ketika keluar dari perkampungan tersebut, sang ayah berkata pada anaknya,”dengarlah apa yang mereka katakan, mereka menyalahkan kita, mereka menganggap kita bodoh karena lebih memilih berjalan kaki ketimbang menaiki keledai kita. Padahal apa yang kita lakukan tadi merupakan pilihan lain yang ada dari beberapa pilihan yang telah kita ambil baik dari perkampungan pertama, kedua dan ketiga.”

“Benar sekali ayah, ternyata pilihan apapun yang kita ambil tidak ada yang benar dalam pandangan orang. Selalu saja ada yang mengkomentari tanpa melihat maksud dan tujuan kita.” demikian sang anak menimbalinya.

“Itulah nak, manusia tidak akan pernah berhenti mengomentari sesuatu hal entah apa yang kamu lakukan itu baik atau buruk.” kembali sang ayah mengingatkan kepada anaknya.

Dari ilustrasi cerita yang diberikan oleh ayahku tadi, aku cuma terdiam. Dalam hati aku coba merenungi maknanya dalam-dalam. Sepertinya memang benar, sebaik apapun aku berbuat, omongan akan selalu ada. Sebaik apapun dan semulia apapun keputusan dibuat, tentunya akan ada yang dirugikan. Tidak ada sesuatu yang sempurna. Sudah menjadi sifat manusia untuk selalu mengomentari apa saja tanpa pernah memikirkan dengan baik mengapa tindakan itu dilakukan ? mengapa pilihan itu diputuskan ?

Saat sebuah keputusan dibuat, pihak yang diuntungkan akan mendukung sepenuhnya, sementara pihak yang diirugikan akan menolak dengan mati-matian. Mereka akan mengecam, mengomentari atau yang lebih buruk adalah memprovokasi orang untuk menolaknya. Dari pengalaman yang kujalani selama ini, saat aku harus memutuskan sesuatu, hal pertama yang aku lakukan adalah mengevaluasi pilihan yang ada sedalam-dalamnya seberapa besar manfaat dan mudorotnya bagi orang lain. Apabila ternyata lebih besar manfaatnya ketimbang mudorotnya, maka aku dengan yakin mengambil keputusan tersebut. Kalau nantinya ada pihak yang kontra, maka aku membiasakan untuk berdialog dengan mereka, terkadang mereka tidak mengerti alasan diambilnya keputusan tersebut. Dari pengalaman yang sudah kujalani, usai berdialog, mayoritas mereka dapat mengerti dan pada akhirnya menerimanya.

Aku bukan tipe orang yang suka mendengarkan gosip orang lain perihal apa yang sudah aku lakukan. Dalam fikiranku cuma ada satu, kalau mereka keberatan saat aku memutuskan sesuatu, silahkan datang dan kita bedah isi kepala kita sama-sama dengan tujuan mencari pilihan yang lebih baik. Selama mereka datang dengan ide yang lebih baik, tentunya dengan senang hati akau akan menerimanya. namun selama ideku jauh lebih baik, merekapun harus sportif mengakuinya.

Pepatah ini mungkin sangat berarti,”Ringan mata memandang, berat bahu memikul”. terkadang melihat dan mengomentari sesuatu jauh lebih mudah ketimbang menjalaninya. Aku sudah belajar mengenai itu, maka sedapat mungkin aku tidak mengomentari pekerjaan orang lain kecuali dimintai pendapatnya.
Akh,... andai saja seluruh orang melakukan hal yang sama, mungkin nyaman sekali hidup ini.

Mahalnya harga sebuah kepercayaan

Bicara masalah kepercayaan,.. berarti bicara dengan kejujuran. Kepercayaan tidak bisa dibeli dengan uang karena kepercayaan hanya bisa dibuktikan dengan proses yang panjang.

Pernah satu kali aku menghianati seseorang dimana seharusnya hal tersebut tidak aku lakukan. Aku akui kalau saat itu aku memang bodoh sekali dan sejujurnya penyesalan itu terus ada di hatiku sampai saat ini. “Siapa menabur angin, kelak dia akan menuai badai”, demikian pepatah mengatakan dan hal itu aku terima sebagai akibat dari apa yang telah aku lakukan.

Pengalaman membuatku menyadari bahwa menumbuhkan kepercayaan jauh lebih mudah ketimbang menjaga kepercayaan yang telah diberikan. Sesal selalu datang diakhir cerita dan itu pulalah yang aku rasakan saat ini. Andai waktu bisa diulang, mungkin aku akan mencoba mengubah semuanya. Saat ini aku hanya bisa untuk mencoba mambangun kembali kepercayaan yang telah kuhancurkan. Tidak mudah memang, namun bukan berarti tidak bisa. Mungkin tidak akan terbangun 100% seperti semula, namun setidaknya ada pembuktian diri untuk tetap berusaha ke arah tersebut.

Saat ini aku baru menyadari bahwa mahal sekali harga sebuah kepercayaan dan aku telah berjanji di dalam hati tidak akan pernah lagi menghianati kepercayaan yang telah diberikan seseorang, "Sekali lancung ke ujian, maka seumur hidup orang tidak akan pernah percaya karena nila setitik bisa merusak susu sebelanga".

Pengalaman ini memberikanku pelajaran untuk tidak akan pernah mengulangi hal yang sama kedua kalinya. Hanya orang bodohlah yang mengulangi kesalahan sama hingga kedua kalinya.

Sedikit tentang aku,...

Aku terlahir di Jakarta. Orang tua adalah campuran antara Sunda (Bokap) dan Betawi (Nyokap). Lepas SMP karena saat itu sedang gencarnya tawuran sekolah, ortu merasa kuatir sehingga memutuskan untuk mengirimku sekolah di luar Jakarta. Aku sekolah sambil mondok di pasantren di daerah Gunung Jaya, lalu ke Gunung Puyuh selama kurang lebih 6 tahun. Disini selain menimba ilmu umum, akupun menimba ilmu agama. Tak lupa sebagai kegiatan sampingan aku ikut ambil kelas bahasa inggris di Cambridge & Sunrise College. Lepas dari sekolah dan mengajar di pasantren, aku memutuskan untuk mencoba bekerja dibidang umum sambil menyempatkan diri untuk tetap mengajar.

Pekerjaan pertamaku adalah sebagai teknisi PABX System & LAN, dimana pekerjaanku adalah melakukan pemasangan PABX System atau jaringan LAN sekaligus melakukan programming access-nya. Ada 5 tahun aku geluti pekerjaan ini sampai ada peluang untuk pindah ke bidang yang lebih baik yaitu GSM Technician.

Pekerjaan keduaku adalah sebagai teknisi GSM system dimana pekerjaanku adalah melakukan instalasi dan koneksi kabel & antenna GSM milik beberapa operator baik di dalam gedung perkantoran, mall, hotel, apartemen, dan lain sebagainya. Dari sini banyak sekali kemajuan yang aku terima, aku mulai mengetahui banyak tentang system telekomunikasi berikut jaringan infrastrukturnya. Akupun mulai mendapat kesempatan untuk membuktikan diri di dunia ini.

Bicara masalah kesukaan, aku suka membaca dan menonton. Untuk tontonan, aku suka semua film tentang science seperti acara discovery, national geographic, atau film2 seperti armageddon, deep impact, dan lain sebagainya. Namun aku juga menyukai film-film dengan genre komedi atau juga film kartun seperti Dragon Ball series, Flame of Recca, Yakitake, Kungfu Boy, Cooking Master, dan masih banyak lagi serial film kartun yang aku suka yang bisa aku jumpa di Animax.

Untuk music, aku lebih suka musik blues atau pop dengan katagori easy listening. Jenis musik seperti ini membantuku dalam mengistirahatkan fikiran dikala penat atau membantuku untuk bisa fokus dikala sedang berfikir.

Kalau bicara masalah makanan, aku tidak punya pantangan. Bagiku selama makanan itu keterima sama mulut, lidah dan perutku, that's fine-fine saja.

Well,..

Itu aja dulu sekilas tentangku,... semoga bisa sedikit ngedeskripsi'in tentang aku.

Selasa, Juli 22, 2008

Prakata

Setelah sekian lamanya bergelut dengan kesibukan, akhirnya bisa juga aku menyempatkan diri untuk membuat blog sendiri.

Apa yang kutulis disini merupakan pengalaman, pendapat atau penilaianku terhadap sesuatu hal secara personal yang tidak ada kaitannya dengan pendapat orang lain.

So,...
Here I am,...