Selasa, September 08, 2009
Yassiruu,... Walaa Tu'assiruu,.... (Permudah,... dan Jangan Mempersulit)
Sudah lama ada satu hal yang mengganjal dihatiku, yaitu menyelesaikan permasalahan harta warisan peninggalan orang tuaku. Orang tuaku meninggalkan sebidang tanah dan rumah bagi kami anak-anaknya, dimana didalamnya terdapat pula hak orang lain yang harus segera diberikan.
Jujur sekali aku rasakan betapa permasalahan ini tidak mudah untuk dimufakati karena lain orang berarti lain pula pemikirannya. Sebagai anak lelaki tertua di keluarga, sudah menjadi tugasku untuk segera menyelesaikan urusan ini dengan segera karena aku tahu bahwa semakin aku tunda menyelesaikannya, maka semakin banyak hal ini menjadi potensi masalah dikemudian hari.
Singkatnya, setelah menempuh beberapa kali pertemuan keluarga, akhirnya kami mendapati kesepakatan baik dari jatah pembagian dan rencana ke depannya dimana kami semua sepakat untuk menjual harta waris tersebut.
Lalu apa kaitannya hal ini dengan tema yang aku pasang di atas ?
Mempermudah segala urusan selama bisa dilakukan merupakan satu hal lain yang tidak mudah untuk dilakukan. Mempermudah membutuhkan kebesaran hati untuk menjalankan,… dan keikhlasan hati untuk menerima hasilnya.
Berapa banyak hubungan persaudaraan yang akhirnya pecah karena permasalahan harta waris ? Berapa banyak nyawa yang hilang karena keserakahan ? Itu satu hal yang tidak aku inginkan. Aku selalu menganggap harta warisan merupakan suatu rejeki yang tidak terduga bagiku. Jadi aku selalu berusaha jangan sampai rejeki yang tidak terduga ini membuat apa yang telah ada saat ini menjadi hilang hanya gara-gara memperebutkannya.
Sungguh aku bersyukur kepada Allah yang telah memberikanku kemudahan dalam seluruh prosesnya. Dari kemudahan proses perhitungannya,… pembagiannya,… hingga penjualannya,… benar-benar atas campur tangan Allah semata.
Seperti yang terjadi kemarin, proses penjualan dibuat demikian mudahnya oleh Allah. Pihak pembeli langsung sepakat dengan tawaran yang diberikan. Proses pemberian uangnyapun dilakukan dengan mudah. Hal ini membuatku sadar bahwa dengan mempermudah segala urusan orang lain, maka Insya Allah segala urusan kitapun akan dipermudah oleh Allah.
Allah berfirman “Sesungguhnya pertolongan Allah itu dekat”, masalahnya kita tidak pernah menyadarinya. Kita tidak pernah mempasrahkan urusan kita kepada Allah, sebaik-baik dzat yang Maha Mengatur,… sebaik-baik dzat yang Maha Berkuasa dan Berkehendak,…
Tidak ada yang mustahil bagi Allah dan itulah yang harus kita jadikan pegangan dalam berikhtiar. Sayangnya kita sebagai manusia selalu lupa bahwa dibalik ikhtiar yang kita lakukan, selalu pasrahkan hasilnya kepada Allah, karena Allah selalu tahu yang terbaik bagi kita.
Ya Allah,…
Alhamdulillah atas segala kemudahan yang telah engkau berikan kepadaku,… Alhamdulillah atas segala rizki yang telah engkau limpahkan kepadaku, …
Hari ini aku sadari satu hal bahwa sungguh tidak ada yang bisa mencegah sesuatu yang telah Engkau berikan dan tidak ada pula yang dapat memberikan sesuatu yang telah Engkau cegah.
Senin, Agustus 31, 2009
Suara Emas Sang Idola
![](https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiEqxaYRlTcBiaZiKHDv70EY9BH9M2O93lJbs6aKwAcZZls8wW1Tk0UiMjGsnyL8cu0PSkWrFo0eCmcfnB17mZKRcFE3RKpsqWyVxpws2vSeWpfXBcfxxrJM1E6jzq-o111WDBY6it5YxT1/s200/muammar1.png)
Sudah lama aku ingin menulis sesuatu tentang salah satu sosok idolaku. Dialah H. Muammar ZA, seorang qori yang telah berhasil menjadi juara internasional serta mendatangkan banyak inspirasi bagi para qori lain di tanah air maupun dunia.
Sejak di Pasantren, aku benar-benar mengagumi beliau. Suaranya yang khas, tinggi mendayu serta panjang membuatnya layak untuk dijuluki satu dari Qori terbaik sepanjang jaman. Mengapa demikian ? Ya,... karena sampai saat ini masih belum banyak yang dapat menyerupainya.
Aku tidak pernah absen mengikuti pengajiannya sejauh apapun kaki ini melangkah. Bagiku, H. Muammar ZA adalah sosok idolaku. Tak pernah aku berhenti untuk mempelajari seni bacaan Alquran yang diajarkannya. Mungkin jauh dari sempurna, namun aku tetap berharap semoga saja Allah memberikan karunia akan kemampuan beliau mengaji kepadaku.
Dalam sebuah blog, dituliskan sedikit tentang beliau :
Al-Quran Membawaku Keliling Dunia
Suaranya yang merdu dalam melantunkan Al-Quran, mengantarkannya ke berbagai pelosok bumi. Mulai dari lereng gunung, lembah, ngarai, sampai ke beberapa kota besar dunia, bahkan ke dalam Ka’bah. Lantunan suaranya mengalun, mulai dari bawah tenda-tenda sederhana, lapangan terbuka, sampai istana raja.
Malam baru saja beranjak, ketika sesosok pria yang masih terlihat muda menaiki panggung dan duduk di kursi yang disediakan. Usai salam dengan suara rendah cenderung serak, pria berperawakan ramping itu mulai membaca ta’awudz dan basmalah. Dengan mata setengah terpejam, perlahan, ia mulai mengalunkan ayat-ayat suci Al-Quran dengan irama bayati, lagu pembuka qiraah yang bernada rendah.
Perlahan tapi pasti suara itu meningkat, terkadang melengking tinggi, melantun panjang. Di depannya, ratusan orang bagaikan tersihir, terkesima mendengarkan lantunan suaranya yang naik-turun mengirama, bagaikan gelombang ombak yang susul-menyusul menghampiri pantai. Tak jarang, setiap kali alunan suaranya berhenti untuk mengambil napas, puluhan kepala, seperti tersadar dari hipnotis, segera menggeleng takjub.
Ia memang “legenda”. Meski Musabaqah Tilawatil Quran secara rutin digelar di berbagi tingkatan, belum ada satu pun yang menyamainya. Hampir semua umat Islam Indonesia, terutama di pedesaan, jika ditanya siapakah qari yang paling dikenal di Indonesia, jawabnya pasti Ustaz H. Muammar Z.A.
Suaranya yang merdu serta keindahan iramanya dalam melantunkan Al-Quran begitu termasyhur. Kelebihan ini pula yang mengantarkannya ke berbagai pelosok bumi. Mulai dari desa-desa di lereng gunung, tepi lembah dan ngarai, sampai ke beberapa kota besar dunia, bahkan mengantarkannya masuk ke dalam Ka’bah. Lantunan suaranya yang khas mengalun, mulai dari bawah tenda-tenda sederhana, lapangan terbuka, sampai istana raja. Ia penah mengaji di istana Raja Hasanah Bolkiah, istana Yang Dipertuan Agong Malaysia, sampai istana raja-raja di Jazirah Arab.
Awal Juli, Alkisah mengunjungi pria kelahiran Pemalang ini di kediamannya di depan Masjid Al-Ittihad, di bilangan Kebon Jeruk, Jakarta Barat. Ayah satu putri dan empat putra ini bertutur renyah, diselingi tawa segar.
Naik Tandu
“Saya ini anak kampung yang beruntung bisa keliling dunia, bisa mengaji saat jemaah haji wukuf di Padang Arafah dan saat bermalam di Mina. Bahkan, pada tahun 1981, saya diberi kesempatan masuk ke dalam Ka’bah,” tuturnya haru. “Wah, nggak kebayang sebelumnya. Di dalam Ka’bah saya cuma bisa tertunduk, menangis. Saya nggak berani mengangkat wajah dan memandang langit-langit.”
Lebih dari 25 tahun, Muammar melanglang buana, melakukan perjalanan yang menurutnya sangat mengasyikan. Dalam menghadiri undangan mengaji, ia pernah mencoba berbagai kendaraan, dari mulai naik pesawat pribadi, pesawat komersial, limousine, ojek, sampai tandu. Medan pegunungan Jawa Barat, tuturnya, yang paling sering membuatnya ditandu. Sementara pedalaman Kalimantan dirambahnya dengan glotok, ojek perahu mini yang mampu menjangkau sungai-sungai kecil di pedesaan.
Suatu ketika, ceritanya, ia diundang mengaji di beberapa tempat di daerah Garut. Qari yang puluhan kasetnya masih terus dicari orang ini menempuh perjalanan Bandung-Garut-Cikajang-Singajaya dengan kendaraan roda empat. Namun perjalanan berikutnya yang naik-turun gunung harus dilaluinya dengan ojek, dan terakhir jalan kaki menyusuri jalan setapak.
Kelelahan setelah menempuh perjalanan jauh, akhirnya Muammar tidak mampu lagi berjalan. Panitia yang mengawalnya pun berinisiatif untuk menyewa tenaga orang kampung untuk menandunya sampai di lokasi pengajian. Setelah berjalan kaki selama empat jam, ia pun tiba. Dan yang membuat semangatnya bangkit kembali, ternyata, ratusan hadirin masih dengan setia menunggu kehadirannya.
“Sampai di tempat pengajian jam dua belas malam, saya langsung mengaji,” kenang pangasuh Pesantren Ummul Qura, Cipondoh, ini. “Selesai mengaji, jam setengah dua, kami turun. Sampai di kota Garut jam setengah delapan pagi.”
Tidak sekali-dua kali perjalanan seperti itu dilakoninya. Belum lama ini, untuk kesekian kalinya, Muammar menghadiri undangan ke Cianjur bagian selatan, daerah Cikendir, yang juga harus dilalui dengan jalan kaki berjam-jam di jalan setapak berlumpur. Pulangnya, ia kelelahan. Dan akhirnya, lagi-lagi, ditandu.
Ia memang tidak pernah memilih-milih tempat atau pengundang. Baginya, selama ada waktu, dan kondisi fisiknya memungkinkan, pasti dengan senang hati ia akan hadir. Dari koceknya ia membayar sekitar 500 ribu kepada para pemandunya.
“Niat saya itu kan berkhidmah,” tutur Muammar dengan rendah hati. “Istana, saya datangi. Pelosok kampung pun, saya kunjungi.”
Ia meyakini, ia bisa terus mengaji. Dan kariernya terus langgeng seperti sekarang ini, antara lain, berkat doa orang-orang yang tinggal di pelosok desa dan pegunungan yang pernah dihadirinya mereka itu. “Mereka itu betul-betul ikhlas, baik, dan jujur,” katanya tulus.
“Bayangkan, untuk menghadiri pengajian saya, mereka sampai harus berjalan puluhan kilometer. Bahkan ada yang membawa bekal dan kompor, serta masak di perjalanan.”
Dalam perjalanan berkhidmah ini pula, Muammar pernah mengalami kecelakaan lalu lintas di daerah Cirebon menjelang tahun 1990-an. Mobilnya hancur dan ia pun terluka parah. Cukup lama ia harus menginap di rumah sakit. Saat itulah Muammar merasakan kedekatan dengan para ulama yang bergiliran menjenguknya. Tak jera, setelah pulih ia pun kembali menjelajahi pelosok tanah air, untuk melantunkan firman-firman Tuhannya.
Sejak Belia
Meski masih terlihat cukup muda, Ustaz Muammar tahun ini menginjak usia 51 tahun. Ia dilahirkan di Dusun Pamulihan, Warungpring, Kecamatan Moga, sekitar 40 kilometer selatan ibu kota Kabupaten Pemalang, dari pasangan H. Zainal Asyikin dan Hj. Mu’minatul Afifah, ulama dan tokoh masyarakat di desanya. Muammar adalah anak ketujuh dari sepuluh bersaudara. Namun hanya sembilan yang masih hidup. Belakangan, adiknya, Imron Rosyadi Z.A., juga mengikuti jejaknya menjadi qari nasional setelah menjuara MTQ. Adiknya yang bungsu, Istianah, kini menjadi salah satu anggota DPRD Tingkat I Yogyakarta.
Muammar mengenal qiraah sejak belia. Ia memang berasal dari keluarga qari. Ayah dan kakak-kakaknya dikenal bersuara merdu. Sang ayah adalah pemangku masjid di dusunnya, yang setiap akhir malam melantunkan tarhiman, selawat dan puji-pujian untuk membangunkan orang-orang guna mendirikan salat Subuh.
Waktu kecil, ia, bersama teman-temannya, belajar seni baca Al-Quran dari teman lain yang lebih besar, yang kebetulan menguasai beberapa lagu. Di samping itu Muammar mulai keranjingan terhadap qiraah, belajar secara serius pada kakaknya, Masykuri Z.A. Namun karena kakaknya tinggal di sebuah pesantren yang cukup jauh dari desanya, pelajarannya baru akan bertambah jika Masykuri pulang ke rumah ketika liburan.
Namun demikian bakat Muammar mulai kelihatan. Tahun 1962, ia menjuarai MTQ tingkat Kabupaten Pemalang untuk tingkat anak-anak, mewakili SD-nya.
“Waktu itu saya masih memakai celana pendek saat mengaji, he he he,” kenang Muammar.
Sekitar awal tahun ‘60-an, suara dan lagunya memang sudah mulai bagus, meski hafalan suratnya masih terbatas. Ia sudah mulai diundang untuk mengaji di acara-acara pengajian atau pengantinan di kampungnya. Dan lucunya, ayat yang dibaca itu-itu saja. Ketika kakaknya pulang dari pesantren, barulah hafalan ayat dan lagunya bertambah.
Selepas SD, Muammar sempat nyantri di Kaliwungu, Kendal, sebelum melanjutkan ke PGA di Yogyakarta. Selesai PGA, ia sempat juga belajar di IAIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta. Di Kota Gudeg, ia melanjutkan kiprahnya di bidang seni baca Al-Quran. Muammar mengikuti MTQ tingkat Provinsi DIY yang diadakan oleh Radio Suara Jokja tahun 1967. Ia berhasil menyabet juara pertama untuk tingkat remaja. Tahun-tahun berikutnya, Muammar ikut lagi dan kembali juara. Tahun itu juga, ia mewakili DIY ikut MTQ tingkat nasional di Senayan tingkat remaja, namun ia belum meraih juara.
Sejak itu, Muammar menjadi langganan tetap kontingen DIY di MTQ Nasional, tahun 1972, 1973, dan seterusnya. Tahun 1979, ia bahkan terpilih menjadi anggota kontingen Indonesia di sebuah haflah, semacam MTQ internasional, yang diselenggarakan di Mekah. Gelar juara nasional pertama kali diraihnya di MTQ Banda Aceh tahun 1981. Kali ini ia mewakili DKI Jakarta. Muammar yang saat itu tengah belajar di Perguruan Tinggi Ilmu Al-Quran (PTIQ), Ciputat, mendapatkan hadiah sebuah televisi. Pemerintah Provinsi DKI sendiri kemudian memberi tambahan bonus hadiah, ibadah haji.
Namun, tidak seperti kariernya di bidang tarik suara, dalam pendidikan Muammar mengakui kurang berhasil. Kuliahnya di PTIQ yang tinggal skripsi tidak selesai. Waktu itu, kata sang qari, ada perubahan peraturan yang agak mendadak. Jika semula syarat ujian skripsi itu hafal lima juz Al-Quran, tiba-tiba diubah menjadi 30 juz.
“Wah, saya nggak siap,” ujar Muammar jujur. Meskipun demikian, uniknya, setelah menjadi juara nasional dan qari internasional, ia justru diminta mengajar di sana.
Tidak Berpantang
Ditanya mengenai rahasia suaranya, suami Syarifah Nadiya ini dengan serius mengatakan tidak mempunyai resep rahasia apa pun. “Dalam hal-hal seperti itu, saya cenderung rasionalis,” ungkap Muammar. “Saya nggak begitu percaya pada hal-hal begituan, seperti nggak boleh makan ini-itu, harus cukup tidur, atau harus tidur jam segini. Bahkan saya jarang tidur lho, apalagi sebelas hari ini saya selalu pulang pagi.”
Ia pun mengakui, meski dulu pernah sekali ikut-ikutan mencoba, tidak berani ikut gurah. “Saya nggak berani ikut,” katanya. “Apalagi yang enggak jelas. Karena, salah-salah malah merusak pita suara. Kalau cuma melegakan, mungkin ya. Tapi kalau dipaksakan begitu lalu saraf tenggorokannya putus, kan malah jadi penyakit, he he he.” Sebenarnya, kata Muammar, kalau memahami tata cara wudu yang benar dan menerapkannya, itu juga sudah menjadi gurah. Misalnya ketika istinsyaq, memasukkan air ke hidung lalu mengeluarkan lagi dengan keras.
Disinggung bagaimana kiatnya menjaga suara, qari yang pernah diundang mengaji di istana Yang Dipertuan Agong Malaysia dan Sultan Hasanah Bolkiah, Brunei, ini mengaku hanya memasrahkan diri kepada Allah. “Niat saya mau ngaji lillaahi ta’ala, ‘Ya Allah, tolong saya’.” Namun yang pasti, setiap bangun tidur ia selalu melakukan warming up, pemanasan, dengan rengeng-rengeng, menggumamkan nada-nada tilawah. Demikian juga ketika akan mengaji. Menurutnya ini penting, untuk menghindari kaget.
Berbeda dengan para penyanyi yang banyak mempunyai pantangan, terutama makanan dan minuman, Muammar menyantap hampir semua makanan dan minuman yang disukainya. Bahkan, makanan kesukaannya adalah sambel, lalap, dan ikan asin, yang harus selalu ada di meja makannya.
“Saya hanya memastikan, ketika saya mau ngaji, kondisi badan saya fit,” ungkapnya, berbagi resep. “Baru kemudian, kunci terpentingnya adalah mengaji dengan ikhlas dan perasaan senang.”
Bagi Muammar, mengaji dengan ikhlas dan senang hati itu menjadi hiburan dan kenikmatan tersendiri. Maka, tak mengherankan, setiap kali melantunkan ayat-ayat suci Al-Quran, ia tampak begitu menikmati. Terkadang matanya setengah terpejam, sembari menggeleng-gelengkan kepalanya. “Pokoknya saya dengerin sendiri, karena memang pada dasarnya saya suka.” Itu, menurutnya, membuatnya mampu mengaji minimal setengah jam, jika di dalam kota. “Karena mereka kan sering ketemu saya. Tapi kalau di luar kota, terlebih di luar Jawa, saya bisa satu jam, bahkan lebih.”
Dalam satu hari biasanya ia mengaji di tiga sampai empat tempat. Di beberapa tempat, terkadang ia juga berceramah, biasanya jika mubalignya tidak datang. Mengaji itu pula yang mempertemukannya dengan sang istri tercinta, ketika sang pujaan hati yang dinikahinya pada tahun 1984 itu duduk dalam kepanitiaan sebuah pengajian di Kemanggisan. Buah pernikahan dengan wanita berdarah Aceh itu kini sebagian telah beranjak remaja.
Lia Fardizza, putri sulung qari yang pernah berguru kepada Syekh Abdul Kholil Al-Mishri, qari besar Negeri Piramid, kini menginjak semester ketiga di London School, jurusan bahsa Inggris. Sejak TK, Lia memang gandrung dengan bahasa internasional tersebut, terlihat dari hobinya membaca komik-komik berbahasa Inggris. Belakangan ia juga gemar mendendangkan lagu-lagu Barat. Tidak mengherankan, dialek lisannya, menurut Muammar, cenderung ke Amerika.
Putra-putranya, Ahmad Syauqi Al-Banna, kini duduk di kelas 3 SMU, Husnul Adib Al-Hasyim kelas 2 SMP, Raihan Al-Bazzi, kelas 4 SD, dan si bungsu Ammar Yua’yyan Al-Dani, kelas 3 SD. Di antara lima anaknya, tiga di antaranya mewarisi keindahan suara sang ayahanda, Lia, Raihan, dan Ammar. Namun karena keterbatasan waktu serta kesibukan Muammar, diakuinya, potensi putra-putrinya itu belum tergarap.
Menurutnya, qari yang baik itu harus memiliki suara yang bagus, napas panjang, penguasaan lagu, dan dialek yang bagus. Dan, membentuk dialek itu tidak gampang. Orang Jawa, misalnya, akan cukup sulit mengucapkan huruf ba’ dengan benar. Ia sendiri mengaku cukup lama mempelajari dialek Al-Quran dengan memperhatikan dialek qari-qari dari Mesir, Arab, dan daerah Timur Tengah lainnya.
Qari lokal yang bagus, menurut Muammar, biasanya yang berasal dari pesantren Al-Quran yang kebetulan pengasuhnya juga seorang qari mumpuni. Ini karena sang kiai biasanya mempunyai kelengkapan ilmu qiraah dan kepekaan, maka pembelajaran qiraahnya juga dilengkapi dengan ilmu tajwid, makharijul huruf (ilmu pelafalan huruf Al Quran), dzauq (cita rasa bahasa), dan sebagainya.
Dari Pedesaan
Karena itulah, sejak empat tahun Muammar memulai pembangunan sebuah pesantren di daerah Cipondoh, yang dinamakannya Ummul Qura. Karena seorang qari, ia bercita-cita menyebarkan tradisi qiraah ini melalui pesantrennya ini, sebagai sumbangan pada bangsa. “Kalau Allah mengizinkan,” kata Muammar, “saya ingin mencetak Muammar-Muammar baru.” Melalui lembaganya itu pula, ia mengharapkan, seni baca Al-Quran akan kembali dicintai dan dikagumi umat Islam.
Muammar bercita-cita membangun sebuah lembaga pendidikan yang komprehensif, mulai dari TK, SD, SMP, sampai SMA yang mempunyai nilai plus, Al-Quran. Ia mengharapkan bisa membekali santrinya dengan kelengkapan ilmu-ilmu Al-Quran, baik tajwid, qiraah, dasar-dasar tafsir, maupun tahfidz-nya (hafalan Al-Quran). Paling tidak, targetnya setamat SD atau SMP para santri akan mampu membaca Al-Quran dengan fasih, baik, dan benar.
“Terlebih dengan lingkungan yang Islami di pesantren, setidaknya mereka akan mempunyai pegangan hidup.”
Pada tahap awal, sudah dibangun sebuah masjid, ruang baca, dan dua buah gedung asrama. Ke depan ia ingin membangun sekolah formal dulu, baru kemudian akan diasramakan. Namun, karena keterbatasan dana, sementara ini pembangunan Pesantren Ummul Qura tersebut tersendat.
Tanggal 22 Juli kemarin di Gorontalo diselenggarakan Seleksi Tilawatil Quran tingkat nasional. Namun, tidak seperti pada dasawarsa ‘80-an, event empat tahunan yang diselenggarakan untuk menjaring bibit-bibit baru qari dan qariah serta penghafal dan mubalig berbasis Al-Quran ini sepertinya tak lagi memiliki gaung.
“Akhir-akhir ini semangat mendalami seni membaca Al-Quran di masyarakat kita ini memang cenderung mengalami penurunan,” tutur qari yang pernah diminta membaca Al-Quran saat wukuf di Padang Arafah. “Apalagi kecintaan terhadap Al-Quran.”
“Belakangan ini, perhatian orang, terutama generasi mudanya, lebih tercurah ke kontes-kontes musik yang memang lebih memikat,” ujar tokoh berusia 51 tahun ini gundah. “Sementara MTQ, dari dulu kemasannya tidak pernah berubah.” Ia merindukan, MTQ ke depan akan mempunyai gereget dan gaung yang besar, seperti pada masa-masanya dulu.
Lebih lanjut, Muammar juga mengharapkan optimalisasi peran lembaga resmi yang dibentuk untuk mengembangkan seni baca Al-Quran, Lembaga Pengembangan Tilawatil Quran. Idealnya, lembaga tersebut tidak hanya sibuk menjelang pelaksanaan STQ atau MTQ, atau menjaring bahan jadi, tetapi secara intensif dan konsisten menggali dan membina bibit unggul sejak dari tingkat dusun. “Selama ini, bukankah juara-juara tilawah justru banyak muncul dari pedesaan, yang ekonominya pas-pasan....”
(Diambil dari http://ahmad-iftah-shiddiq.blogspot.com/2006/03/ustad-muammar-za.html)
Jumat, Agustus 21, 2009
Marhaban Ya Ramadhan
Bila merunut ke tahun – tahun belakang, sekitar 12 tahun terakhir, aku merasa ramadhanku terbuang percuma. Secara jahir, mungkin tidak terlihat nyata karena diseluruh Ramadhan yang lalu, puasaku berjalan dengan lancar tanpa ada bocor satu haripun. Namun bila menilik lebih dalam, ada banyak hal yang sangat kusesali. Tarawihku tidak terpelihara dengan baik, tadarusku tidak pernah khatam hingga akhir. Itulah yang kusebut dengan terbuang percuma.
Di Ramadhan kali ini, aku bertekad untuk menggunakannya dengan semaksimal mungkin. Terkadang, aku rindu akan suasana dahulu ketika aku masih tinggal di Pasantren. Ramadhan terasa sangat bermakna sekali. Melewatinya dengan mengaji kitab, membaca Alquran, menjalankan sholat sunnah dan masih banyak lagi kegiatan yang kujalani selama mengisi bulan Ramadhan.
Life Goes On,… hidup memang akan terus berjalan, demikian juga dengan karakter pribadi orang. Namun seharusnya aku membentuk pribadiku dengan lebih baik tahun demi tahun.
Aku telah berjanji pada diriku sendiri bahwa Ramadhan di tahun ini merupakan titik balikku untuk membentuk sosok pribadi yang berbeda. Aku harus menebus 12 tahun yang kulalui dengan percuma.
Ya Allah, terima kasih telah memberiku kesempatan untuk bisa menikmati Ramadhan tahun ini. Terima kasih telah memberiku banyak nikmat dan karunia yang begitu luas hingga saat ini. Sungguh aku malu sekali menghadapMu.
Ya Allah, peliharalah keimananku agar selalu tetap di jalanMu. Aku hanyalah hambaMu yang lemah, yang senantiasa selalu butuh akan pertolonganMu. Mudahkan segala yang sukar bagiku, berikan aku kekuatan untuk tetap dapat mempertahankan keimananku dalam kondisi apapun.
Ya Allah, sungguh Engkau Maha Pengampun, maka ampunilah dosa dan kesalahanku.
Kamis, Agustus 06, 2009
Pelaksanaan Aqiqah Anak Kedua
Sedikit membahas masalah Aqiqah, kata aqiqah menurut Lughot atau bahasa adalah penyembelihan binatang dari kelahiran anak; dan nama rambut yang berada di atas kepala bayi yang dilahirkan. Sedangkan kata aqiqah menurut Syara adalah penyembelihan binatang ternak pada hari ketujuh dari kelahiran anak laki-laki atau perempuan. Dihari tersebut, selain dilakukan penyembelihan juga dilakukan pencukuran rambut dan pemberian nama bagi si anak.
Aqiqah hukumnya Sunnah Muakkad, namun dapat menjadi wajib seandainya dinazarkan. Daging yang dikorbankan adalah kambing dan untuk anak laki-laki berjumlah 2 ekor dan untuk anak perempuan adalah 1 ekor. Perbedaannya adalah cara penyajiannya. Apabila Qurban disajikan dalam kondisi mentah, maka Aqiqah disajikan dalam kondisi matang.
Sebagian ulama berpendapat boleh mengaqiqahi bayi laki-laki dengan satu kambing yang dinukil dari perkataan Abdullah bin Umar, Urwah bin Zubair,
Dari Ibnu Abbas bahwasannya Rasulullah bersabda : Meng-aqiqahi Hasan dan Husain dengan satu kambing dan satu kambing. HR Abu Dawud -2841 Ibnu Jarud dalam kitab al-Muntaqa -912 Thabrani -11/316 dengan sanadnya shahih sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Daqiqiel Ied
Tetapi al-Hafidz Ibnu Hajar rahimahulloh berkata dalam kitabnya Fathul Bari -9/592 : …..meskipun hadist riwayat Ibnu Abbas itu tsabit shahih, tidaklah menafikan hadist mutawatir yang menentukan dua kambing untuk bayi laki-laki. Maksud hadist itu hanyalah untuk menunjukkan bolehnya mengaqiqahi bayi laki-laki dengan satu kambing….
Sunnah ini hanya berlaku untuk orang yang tidak mampu melaksanakan aqiqah dengan dua kambing. Jika dia mampu maka sunnah yang shahih adalah laki-laki dengan dua kambing.
Waktu pelaksanaan aqiqah yang utama adalah di hari ke 7, 14 dan 21. Hal ini sesuai dengan hadis rasulullah :
Dari Abdullah bin Buraidah dari ayahnya dari Nabi SAW, sesungguhnya Nabi telah bersabda : Aqiqah itu disembelih pada hari ketujuh kelahiran anak atau hari keempat belas atau hari kedua puluh satu. -HR. Al-Baihaqi.
Tanggal 1 Agustus 2009 lalu, aku melaksanakan Aqiqah bagi anak keduaku yang memang baru lahir. Syukur alhamdulillah acara berlangsung sesuai dengan yang direncanakan. Makanan yang dibagikan ternyata lebih dari cukup untuk para tetangga sekeliling rumah, malah terkesan sangat berlebih.
Saat Aqiqah itu pula, dilakukan pemberian nama terhadap anak keduaku. Nisrina Zulfa, itulah nama yang kusiapkan yang berarti Bunga Mawar Putih yang memiliki kedudukan.
Sebagai orang tua, banyak sekali harapan yang aku tanamkan pada anak-anakku, semoga tumbuh dengan sehat, baik akhlaknya, taat kepada Allah dalam melaksanakan seluruh perintahnya, berbakti kepada orang tuanya serta selalu berada dalam koridor yang benar menurut agama.
Amiin ya Allah,… Ya Rabbal Alamin,……
Rabu, Juli 22, 2009
Kelahiran Anak Kedua
![](https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiy4ZtGQQOL1j4uEP7aPamRFanvPYWxc4ocIxb6NPCk_eKsoTVr698ToqbEhqJtvZleXc8KMTh_lJjLYk_9NOnhhaj84VjnW8H8GPZIVxeEnuD9zpxgXr5DNFE0Nl6zK6bWHPSKCR-9eQWV/s320/Image031.jpg)
Minggu lalu, tepatnya pada hari Rabu, 15 Juli 2009, jam 16:40 WIB, istriku melahirkan anak kedua kami.
"SUBHANALLAH",.... itulah kalimat pertama yang keluar dari mulutku ketika anakku lahir dengan selamat dan tidak kurang suatu apapun. Bagiku, ini merupakan pengalaman pertamaku menemani istriku dikala melahirkan. Saat anak pertama lahir, aku tidak sempat hadir menemaninya karena aku sedang berada di lokasi berbeda.
Ada rasa khawatir saat proses persalinan berlangsung. Alhamdulillah, segala sesuatunya berjalan dengan lancar dan baik. Segala puji bagi Engkau ya Allah yang telah memudahkan segala urusan ini. Kalimat hamdalah ini tak putus aku ucapkan saat mendapati segala sesuatunya sesuai dengan harapan.
Apa yang kudapat dari menyaksikan proses kelahiran ini ? Merinding,.. !! itu yang aku rasakan saat istriku berjuang dengan susah payah mengeluarkan si bayi dari rahimnya. Takjub,..!! itulah yang ada di hatiku saat menyaksikan bagaimana si bayi keluar dari rahim istriku. Memang pantas sekali bila islam menempatkan derajat seorang Ibu begitu tinggi mengingat proses melahirkan memang benar-benar sebuah proses hidup dan mati.
![](https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEimu046qKZFu41ObBY73hHmHxZmio5rhPid6FRBgsLlLhyBHidroBMxbL7x8QR52rKNaGdBrXVeElwg1QUi0N3hD8EpPMoDovCCgZSIuJnE46siTTn46ESW5ayqE7Ckh4YpaglahmFSC-lE/s200/Image041.jpg)
Rencananya, anakku akan aku beri nama "Nisrina Zulfa", yang berarti "Bunga mawar putih yang memiliki kedudukan". Aku berdo'a kepada Allah, semoga anakku ini menjadi anak yang salihah, berbakti kepada orang tua dan agamanya, menjunjung tinggi dan menghargai nilai kehidupan yang diajarkan oleh orang tuanya.
Jumat, Mei 22, 2009
Saat Malu Tidak Lagi Menjadi Pakaian Diri
Betapa saat ini Reality Show semakin menjamur dan dengan dalih bahwa ingin membantu orang lain, ... maka semakin banyak statiun televisi yang berlomba-lomba membuatnya tanpa pernah memikirkan dampaknya.
Akankah kebebasan membuat segala sesuatunya menjadi kebablasan ? Tidakkah terfikir oleh mereka bahwa objek yang mereka gunakan juga manusia,... ? punya rasa,... ? Dengan alasan kebebasan berekspresi mendatangkan inspirasi, maka dengan mudahnya norma-norma etika dikesampingkan. Mungkin sekali waktu mereka harus berfikir, bagaimana seandainya mereka atau keluarga mereka sendiri yang menjadi obyek penderitanya.
Ketika malu telah ditanggalkan, memang tiada lagi yang tersisa dari manusia selain sikap egois demi melakukan pembenaran. Dengan dalih membantu orang yang kesusahan,... dan lainnya, mereka menutupi bahwa semuanya bermuara ke satu hal; "UANG". Lalu apa pelajaran yang bisa diambil dari acara tersebut ? NONE, kecuali kita tahu bahwa ada banyak kebejatan disana.
Pepatah mengatakan, "Menepuk Air Di Dulang, Terpercik Muka Sendiri". Tidakkah disadari oleh sipelaku bahwa secara tidak langsung mereka telah membuka aib keluarga mereka sendiri ? Malu adalah sebagian dari Iman, lalu ketika malu telah di tanggalkan dari pakaian diri, maka apalagi yang tersisa ?
Jumat, April 17, 2009
Ketika Kalah Bukanlah Sebuah Pilihan
![](https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgadJekVyRNEMMHs3oAW2sTlU2mn1NS9Lt_q5Qsa2u46qihAGEDLMyDnjm0DRov3Z7dYjELx6DKpowzQn13AeMY1BER_1OqF047JwJSN-AhoNyfUYYp9xweO8EGBkR7xOeqvtNLuNcnFD-z/s320/Image005.jpg)
Sejak peraturan digulirkan, banyak sekali terlihat “Money Politic” dimana-mana. Di daerahku sendiri, tidak terhitung banyaknya proses “Pemberian Uang” terhadap para penduduk agar dalam proses pencontrengan nanti suara akan diberikan kepada caleg bersangkutan.
Sungguh ironis sekali, System baru yang menghabiskan dana sangat besar membuka jalan terjadinya penyuapan dan pembodohan. Lalu apa yang bisa kita harapkan dari para “Calon Anggota Dewan” yang terhormat ini ? Bagaimana bisa meminta mereka untuk membawa kita keluar dari permasalahan bila posisi didapatnya dengan cara membodohi dan menyuap orang-orang ?
Sebagai bagian dari warga negara, aku muak melihat tingkah polah mereka. Bagiku ini seperti suatu dagelan politik layaknya acara Ketoprak Humor. Apa jadinya Negara ini nantinya seandainya mereka berhasil menempati posisi tersebut ? Akankah kepentingan bangsa dan negara menjadi prioritas utama mereka ?
Seiring dengan bergulirnya proses penghitungan suara, semakin terlihat betapa banyaknya dampak buruk yang dihasilkan. Tak kurang banyaknya media menginformasikan bahwa banyak para Caleg yang mengamuk,… stress,… gila,… bahkan bunuh diri,… ketika menyadari bahwa nilai perolehan suara yang mereka dapat jauh diluar harapan mereka.
Tidak dapat dipungkiri, embel-embel “Anggota Dewan” memang menggiurkan semua orang sehingga mereka berusaha dengan segala upaya agar posisi tersebut bisa diraihnya meskipun harus mengorbankan seluruh harta benda atau bahkan yang terparah adalah sampai berhutang.
Dari sini dapat dilihat bahwa mereka-mereka yang berkompetisi hanya berharap untuk menang. Lalu bila kalah adalah hasil akhirnya,…. sudahkah mereka mempersiapkan mentalnya ?