Mungkin seringkali dari kita yang berada di posisi “Decision Maker” mengalami kesulitan saat dihadapkan pada kasus dimana ada satu keputusan yang harus dibuat namun dengan tingkat pressure yang cukup kuat. Tidak dalam kontek pekerjaan saja, terkadang situasi ini bisa datang dalam kontek personal atau lain sebagainya.
Tulisan ini aku buat berdasarkan pengalaman personal yang aku alami. Saat itu posisiku sebagai seorang Field Senior Supervisor yang mendapatkan promosi dari perusahaan untuk menduduki posisi baru sebagai Field Assistant Operational Manager. Jujur, saat itu aku merasa tidak nyaman dengan adanya promosi tersebut dengan pertimbangan bahwa di level tersebut tentunya banyak sekali keputusan yang harus dibuat secara objective yang menyangkut kebijakan perusahaan secara menyeluruh.
Setiap keputusan yang dibuat terhadap suatu kebijakan, tentunya tidak akan bisa menyenangkan seluruh pihak karena biasanya saat keputusan dibuat tentunya ada satu pihak yang merasa diuntungkan dan disatu pihak lagi akan merasa dirugikan. Saat itu sejujurnya aku dalam posisi dilematis apakah akan menerima promosi yang diberikan, atau menolaknya dengan pertimbangan tersebut di atas.
Dalam kondisi bimbang, aku coba berkonsultasi dengan ayahku saat itu sambil menceritakan duduk persoalan yang masih mengganjal di hatiku. Waktu itu, ayahku tidak memberikan jawaban dari apa yang aku tanyakan, namun jawaban yang diberikan ayahku merupakan ilustrasi sebuah cerita seperti ini :
“Dijaman dahulu kala, saat itu masanya Sayidina Lukman, anaknya bertanya pada ayahnya,”Ayah,.. apa yang harus aku lakukan agar setiap pekerjaan aku dinilai sempurna sehingga tidak ada orang yang mengkomentarinya ?”
Sang Ayah menjawab, “anakku, kalau itu yang kamu cari, hal itu tidak akan pernah terjadi.”
Kemudian sang anak bertanya kembali, “mengapa demikian ayah?”
Sang ayah tidak menjawab pertanyaan anaknya, melainkan langsung mengajak agar anaknya turut serta, seraya mengatakan,”anakku, ikutlah dengan ayah, nanti kau akan tahu sendiri jawabannya”.
Lalu berangkatlah mereka berdua dengan membawa oleh seekor keledai. Ketika perjalan akan memasuki satu perkampungan, sang ayah meminta agar anaknya untuk menaiki keledai sementara sang ayah berjalan menuntun keledai tersebut. Ketika mereka memasuki kampung, orang kampung setempat melihat mereka dan membicarakannya. Mereka mengatakan, “Dasar anak tidak tahu diri, tidak punya sopan santun, tega sekali membiarkan ayahnya berjalan kaki sementara dia enak-enakan sendiri duduk di atas keledai itu.”
Sekeluar dari kampung pertama, sang ayah menanyakan kepada anaknya, “engkau dengar kan, bagaimana komentar orang kampung itu setelah melihat kita? padahal tujuan aku membiarkan kamu tetap naik di atas keledai adalah menunjukkan rasa sayang orang tua terhadap anaknya yang mau melakukan apa saja untuk membuat anaknya tidak merasa lelah berjalan. Tetapi sekalipun tujuanku baik, ternyata tidak semua orang melihatnya seperti itu.”
“Kalau begitu, dikampung berikut, biar aku yang naik keledai itu nak, nanti kamu jalan saja menuntunnya.” demikian sang ayah berkata kepada anaknya.
“Baik ayah, akan aku lakukan.” sang anak menjawab.
Mendekati perkampungan kedua, merekapun bertukar tempat. Sang ayah menaiki keledai tersebut, sementara sang anak menuntunnya. Merekapun memasuki perkampungan tersebut. Setibanya didalam kampung, orang kampung yang melihat mereka kembali membicarakannya. Kali ini mereka mengatakan,”dasar orang tua tidak tahu diri, enak-enakan dia duduk di atas keledai, sementara anaknya yang masih kecil itu dibiarkan berjalan kaki. Sungguh orang tua yang tidak punya otak dan nurani.” demikian komentar dari orang kampung tersebut.
Sekeluar dari kampung kedua tersebut, kembali sang ayah berbicara kepada anaknya,”kau dengar tadi ucapan mereka anakku, padahal tujuanku membiarkan aku naik diatas keledai dan engkau dibawah menuntunnya adalah untuk menunjukkan betapa hormatnya engkau terhadap orang tuamu sehingga sang anak akan rela melakukan apa saja agar orang tuanya tidak lelah dalam perjalanan. Namun ternyata tindakan terpuji seperti itu masih juga mendapat komentar yang tidak baik dari orang lain.”
“Baiklah, diperkampungan berikut, sebaiknya kita berdua akan menaiki keledai ini bersama-sama” demikian sang ayah berucap.
Ketika memasuki perkampungan ketiga, sang ayah dan anaknya menaiki keledai tersebut bersama-sama. Kemudian mereka berjalan melewati kampung tersebut. Melihat mereka, orang kampung mengatakan,”Dasar orang-orang yang tidak punya otak, mereka berdua menaiki seekor keledai tanpa memikirkan bagaimana payahnya keledai itu menahan berat mereka berdua. Sungguh sangat tidak berpendidikan dan memiliki nurani sekali.”
“Dengarkan kata mereka anakku, mereka kembali menyalahkan kita. Padahal apa yang kita lakukan saat ini adalah sebagai alternatif untuk menghindari gunjingan mereka seperti yang diucapkan pada kampung pertama dan kedua.” demikian sang ayah berkata kepada anaknya.
“benar ayah,… ternyata usaha kita masih salah juga menurut mereka” sang anak menimbali.
“Baiklah, kalau demikian, sebagai usaha terakhir, nanti kita berdua berjalan saja. Biarkan keledai itu tidak usah dinaiki” sang ayah mengkomentari.
Ketika memasuki perkampungan keempat, mereka menjalankan rencananya. Sang ayah dan anak berjalan sambil menuntun keledai tersebut. Saat memasuki perkampungan, orang kampung kembali mengomentari mereka, “Bodoh sekali ayah dan anak itu, punya keledai, tapi lebih milih jalan kaki. Sungguh ayah dan anak yang tidak berpendidikan.”
Ketika keluar dari perkampungan tersebut, sang ayah berkata pada anaknya,”dengarlah apa yang mereka katakan, mereka menyalahkan kita, mereka menganggap kita bodoh karena lebih memilih berjalan kaki ketimbang menaiki keledai kita. Padahal apa yang kita lakukan tadi merupakan pilihan lain yang ada dari beberapa pilihan yang telah kita ambil baik dari perkampungan pertama, kedua dan ketiga.”
“Benar sekali ayah, ternyata pilihan apapun yang kita ambil tidak ada yang benar dalam pandangan orang. Selalu saja ada yang mengkomentari tanpa melihat maksud dan tujuan kita.” demikian sang anak menimbalinya.
“Itulah nak, manusia tidak akan pernah berhenti mengomentari sesuatu hal entah apa yang kamu lakukan itu baik atau buruk.” kembali sang ayah mengingatkan kepada anaknya.
Dari ilustrasi cerita yang diberikan oleh ayahku tadi, aku cuma terdiam. Dalam hati aku coba merenungi maknanya dalam-dalam. Sepertinya memang benar, sebaik apapun aku berbuat, omongan akan selalu ada. Sebaik apapun dan semulia apapun keputusan dibuat, tentunya akan ada yang dirugikan. Tidak ada sesuatu yang sempurna. Sudah menjadi sifat manusia untuk selalu mengomentari apa saja tanpa pernah memikirkan dengan baik mengapa tindakan itu dilakukan ? mengapa pilihan itu diputuskan ?
Saat sebuah keputusan dibuat, pihak yang diuntungkan akan mendukung sepenuhnya, sementara pihak yang diirugikan akan menolak dengan mati-matian. Mereka akan mengecam, mengomentari atau yang lebih buruk adalah memprovokasi orang untuk menolaknya. Dari pengalaman yang kujalani selama ini, saat aku harus memutuskan sesuatu, hal pertama yang aku lakukan adalah mengevaluasi pilihan yang ada sedalam-dalamnya seberapa besar manfaat dan mudorotnya bagi orang lain. Apabila ternyata lebih besar manfaatnya ketimbang mudorotnya, maka aku dengan yakin mengambil keputusan tersebut. Kalau nantinya ada pihak yang kontra, maka aku membiasakan untuk berdialog dengan mereka, terkadang mereka tidak mengerti alasan diambilnya keputusan tersebut. Dari pengalaman yang sudah kujalani, usai berdialog, mayoritas mereka dapat mengerti dan pada akhirnya menerimanya.
Aku bukan tipe orang yang suka mendengarkan gosip orang lain perihal apa yang sudah aku lakukan. Dalam fikiranku cuma ada satu, kalau mereka keberatan saat aku memutuskan sesuatu, silahkan datang dan kita bedah isi kepala kita sama-sama dengan tujuan mencari pilihan yang lebih baik. Selama mereka datang dengan ide yang lebih baik, tentunya dengan senang hati akau akan menerimanya. namun selama ideku jauh lebih baik, merekapun harus sportif mengakuinya.
Pepatah ini mungkin sangat berarti,”Ringan mata memandang, berat bahu memikul”. terkadang melihat dan mengomentari sesuatu jauh lebih mudah ketimbang menjalaninya. Aku sudah belajar mengenai itu, maka sedapat mungkin aku tidak mengomentari pekerjaan orang lain kecuali dimintai pendapatnya.
Akh,... andai saja seluruh orang melakukan hal yang sama, mungkin nyaman sekali hidup ini.